Pembongkaran cagar budaya berupa rumah singgah Sukarno, presiden pertama Indonesia membuat kecewa banyak pihak.
Akhirnya, pemilik bangunan yang meruntuhkan bangunan itu meminta maaf dan menyatakan akan membangun kembali rumah itu.
“Atas pembongkaran saya menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada Pemerintah Kota Padang atas berkembangnya permasalahan ini,” kata Soehinto Sadikin, pemilik bangunan di Kantor Balai Kota Padang, Senin, 27 Februari 2023.
Jaga Ciri Arsitektur Kawasan Cagar Budaya, Yogyakarta Bentuk Tim Khusus Kaji Fasad Bangunan Soehinto mengaku tidak mengetahui bahwa bangunan yang dimilikinya itu bangunan cagar budaya.
Setelah dilaksanakan pembongkaran, baru diketahui bahwa bangunan yang dimilikinya tersebut sebagai cagar budaya.
“Untuk itu saya bersedia membangun kembali bangunan sesuai dengan bentuk aslinya berkoordinasi dengan pihak terkait dan mematuhi kewajiban selaku pemilik bangunan cagar budaya,” kata Soehinto.
Pembongkaran bangunan tersebut dilakukan sekitar akhir Januari lalu.
Soehinto merencanakan membangun restoran di lokasi itu.
Cerita Pembangunan Water Toren Kota Magelang: Berdiri Seabad Lalu, Berawal dari Wabah Penyakit Menurut Soehinto, ia sempat mengajukan permohonan Keterangan Rencana Kota (KRK) mengenai lokasi tanah tersebut ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Padang dan keluar surat keterangan Rencana Kota KRK Nomor: 0214/DPUPR/KRK-P/KRK-P/03/2018 tanggal 8 Maret 2018 sebagai zona perdagangan jasa.
Hingga akhirnya dilakukan pembongkaran tanpa mengetahui status bangunan sebagai cagar budaya.
Wali Kota Padang Hendri Septa mengatakan pihaknya tidak memberikan izin kepada pemilik bangunan untuk merobohkan bangunan di Jalan Ahmad Yani Nomor 12 tersebut.
Menurut dia, KRK yang diberikan itu merupakan surat keterangan yang menyatakan kawasan itu merupakan zona perdagangan dan jasa.
“Pemilik bangunan ini rencana menjadikan bangunan untuk restoran Jepang dan kami tidak memberikan izin untuk merobohkan bangunan.
Pemkot tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin perobohan bangunan milik pribadi,” kata Hendri.
Bagian Hukum Pemerintah Kota Padang Ayu Chyntia mengatakan pemilik akan melakukan rekonstruksi bangunan ini kembali seperti sedia kala sesuai dengan fungsinya.
“Pemilik sudah berjanji melakukan pembangunan dan tentu tim cagar budaya akan memastikan fungsi bangunan ini dibangun seperti sedia kala dan jika tidak sesuai tentu melanggar aturan yang ada di UU 11 2010 tentang Cagar Budaya,” kata dia.
Bangunan itu merupakan rumah singgah Sukarno yang dikenal dengan nama rumah Ema Idham.
Sukarno pernah singgah di dana selama tiga bulan pada 1942.
Bangunan tersebut merupakan sebuah rumah hunian yang memiliki gaya lokal dengan luas bangunan 290 m².
Bangunan tersebut terdaftar dengan Nomor Inventaris 33/BCB-TB/A/01/2007.
Melansir laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, rumah Ema Idham digunakan sebagai tempat menginap bagi Sukarno ketika Jepang masuk ke Indonesia.
Ketika itu, Sukarno masih menjadi tahanan Belanda dan ditahan di Bengkulu.
Masuknya Jepang ke Indonesia, membuat Bung Karno diungsikan oleh Belanda ke Kota Cane, Aceh.
Namun, ketika dalam perjalanan menuju Aceh, tentara jepang sudah masuk ke wilayah Sumatera Barat terlebih dahulu.
Saat itu, rombongan pasukan Belanda baru sampai di Painan, tetapi pasukan Jepang sudah sampai di Bukittingi.
Oleh karena itu, Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsikan Sukarno ke Barus serta meninggalkan Sukarno di Painan.
Sukarno yang ditinggal di Painan dijemput oleh Hizbul Wathan dan dibawa ke Padang menggunakan pedati.
Menurut Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitar, setelah sampai di Padang, Sukarno bersama Inggit, menginap di rumah Egon Hakim.
Kemudian ia pindah ke rumah kawan lamanya asal Manado, Waworuntu.
Sedangkan, di rumah Ema Idham, Sukarno memanfaatkan rumah tersebut untuk menghimpun dan mengonsolidasikan kekuatan untuk melawan penjajah.
Pilihan Editor: Nilai Historis Rumah Singgah Sukarno yang Kini Rata dengan Tanah